Memperkuat Rantai Nilai Bisnis Hutan Regeneratif di Forum ISF 2024
KADIN RFBH, Jakarta – Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 kembali menjadi ajang diskusi penting mengenai keberlanjutan, salah satunya melalui sesi roundtable discussion bertajuk “Mainstreaming the Narrative: Strengthening Value-Chain for Regenerative Forest Business” yang digelar di Ruang Murai, Jakarta Convention Center, Kamis (5/9/2024) lalu. Acara yang merupakan kolaborasi antara KADIN RFBH dengan Koalisi Ekonomi Membumi (KEM) dan Systemiq ini, dihadiri oleh para pembuat kebijakan, pemimpin industri, akademisi, hingga praktisi komunikasi untuk membahas potensi besar bisnis hutan regeneratif di Indonesia, bioekonomi serta tantangan dalam memperkuat rantai nilainya.
Bisnis kehutanan regeneratif dan bioekonomi: peluang ekonomi baru
Dalam forum ini, para pembicara mengangkat peluang ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dapat dicapai melalui bisnis hutan regeneratif, serta pentingnya memperkuat rantai nilai (value-chain) untuk memperbesar skala bisnis tersebut. Indonesia, yang memiliki kurang lebih 60 juta hektar merupakan sumber daya potensial untuk menjadi modal alam dalam pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam hayati yang dapat diperbaharui (renewable resources) yang sangat mendukung konsep pembangunan bioekonomi. Model Pembangunan hijau tersebut memberikan dampak positif secara komprehensif baik dari dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan termasuk upaya global dalam mitigasi perubahan iklim.
Dalam diskusi tersebut, Wakil Ketua Umum Bidang Lingkungan dan Kehutanan KADIN, Silverius Oscar Unggul, dalam sambutannya, menekankan pentingnya huluisasi dan hilirisasi produk hutan. Menurutnya, salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana meningkatkan nilai tambah dari produk-produk hasil hutan melalui prosesing bahan mentah di hulu sehingga nilai tambah produk dapat ditangkap oleh pengusaha hulu.
“Kita memerlukan dukungan untuk tidak hanya menjual produk mentah, tapi juga mengembangkan produk dengan nilai tambah. Model peningkatan nilai tambah hasil hutan tersebut dapat terus dikembangkan dan memiliki potensi andil yang besar terhadap perekonomian Indonesia dan diharapkan dapat menyaingi kontribusi CPO. Perusahaan kini berkomitmen pada net zero dan pengurangan emisi scope 3, dan ini peluang besar bagi kita,” ujar pria yang akrab dipanggil Onte ini.
Seiring dengan peningkatan komitmen global terhadap keberlanjutan dan pengurangan emisi, Indonesia berpotensi menjadi pemain utama dalam pasar produk yang berkelanjutan. Melalui pengelolaan bisnis hutan regeneratif dengan desain nilai tambah yang besar, Indonesia bisa memasuki pasar yang memiliki permintaan tinggi terhadap produk yang mendukung keberlanjutan.
Di sisi lain, Ketua Dewan Pengurus Koalisi Ekonomi Membumi (KEM), Gita Syahrani, menyoroti tentang konsep bioekonomi – yang mengedepankan pemanfaatan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan dan menjadi solusi untuk membantu Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah. Saat ini, bioekonomi telah masuk dalam rencana pembangunan jangka Panjang dan menengah Indonesia.
“Namun, perhatian Indonesia terhadap sektor bioekonomi masih kurang dibandingkan sektor energi yang mendominasi fokus hilirisasi, seperti batu bara dan mineral. Ini seharusnya menjadi fokus hilirisasi Indonesia, karena bioekonomi dan ekonomi hijau adalah kunci untuk keluar dari jebakan kelas menengah,” ujar Gita.
Ia juga menambahkan pentingnya memanfaatkan narasi kearifan lokal dan petani kecil sebagai bagian dari identitas Indonesia dalam bisnis ini. Dengan pengelolaan yang baik, bisnis hutan regeneratif dapat menjadi sumber pendapatan baru yang signifikan bagi masyarakat lokal dan membuka peluang kerja bagi masyarakat luas.
Akademisi dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB), Angga Dwiartama, juga turut memberikan pandangannya. Ia menyatakan bahwa konsep bioekonomi bukanlah hal yang baru, tetapi masih terdapat banyak ketidakjelasan dalam pengertiannya. “Bioekonomi perlu didefinisikan oleh setiap ekosistem agar dapat diterapkan dengan efektif. Kita harus memastikan bahwa konsep pertanian regeneratif dan berkelanjutan termasuk dalam bioekonomi Indonesia,” tegas Angga.
Tantangan rantai pasokan dan kolaborasi
Meskipun potensi hutan regeneratif besar, tantangan utama masih ada dalam hal akses pasar bagi para pemasok. Widharmika Agung, Partner at Systemiq, menyebutkan bahwa ada kesenjangan antara pemasok dan pembeli. Pemasok seringkali kesulitan dalam mengakses pasar, sementara para pembeli menghadapi kekhawatiran tentang keterandalan pasokan bahan baku.
“Namun, kita semakin dekat untuk menutup kesenjangan ini,” kata sosok yang kerap dipanggil Widhar tersebut.
Tantangan serupa juga dihadapi oleh PT Kobumi, perusahaan yang bekerja dengan petani di Papua, yang berfokus pada produk seperti pala, cengkeh, dan hasil laut. Cindy, perwakilan Econusa/PT Kobumi, mengatakan bahwa pasar masih menjadi hambatan besar dalam rantai pasokan, meskipun potensi produk mereka cukup besar.
“Yang terutama bagi pemasok di wilayah-wilayah terpencil,” ungkap Cindy.
Sementara Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, menekankan bahwa risiko bisnis yang dihadapi perusahaan kehutanan sebagai pemasok juga perlu diminimalkan, terutama karena lokasi hutan produksi terbesar di Indonesia berada di luar Jawa.
“Oleh karena itu sangat penting berbagi risiko di sepanjang rantai pasok agar usaha kehutanan dapat berkembang,” tukasnya.
Di sisi lain, para pembeli atau off takers yang berperan penting dalam rantai pasok juga menyampaikan tantangan dan peluang bisnis berbasis bioekonomi. Manajer Stronger Coffee Initiative Nasional dari Louis Dreyfus Company (LDC), Diva Tanzil, menjelaskan bahwa LDC sudah memiliki program yang selaras dengan bioekonomi dan konsep regeneratif melalui inisiatif mereka yang disebut Stronger Coffee Initiative.
“Program ini berfokus pada tiga pilar utama, yaitu penghidupan petani, pertanian regeneratif, dan pengurangan emisi karbon,” jelas Diva.
Manajer Stronger Coffee Initiative Nasional Louis Dreyfus Company (LDC), Diva Tanzil | Corporate Secretary PT Sidomuncul Tbk,Tiur Simamora | Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto |
Sementara itu Corporate Secretary PT Sidomuncul Tbk., Tiur Simamora, juga membahas bagaimana perubahan iklim berdampak pada bisnis mereka yang bergantung pada bahan baku alami.
“Sebagian besar rantai pasokan kami adalah petani, dan kami berinvestasi pada rantai pasokan tersebut. Kami juga menggunakan bahan yang dapat diperbarui, serta berkomitmen pada target pengurangan emisi Scope 3 dan target net zero,” ungkap Tiur.
Pendanaan dan teknologi untuk meningkatkan skala
Untuk mencapai skala yang lebih besar, pendanaan dan teknologi menjadi faktor kunci. Untuk itu para pemberi dana juga memberikan pandangan tentang bagaimana memperluas skala bisnis hutan regeneratif di Indonesia. Perwakilan Ofi dari Ford Foundation menyarankan agar Indonesia bisa belajar dari model bioekonomi di Brasil, yang didasarkan pada nilai ekosistem dan sosial.
Sementara itu Ketua Indonesia Impact Alliance, Romy Cahyadi, menyatakan bahwa peluang pendanaan sudah tersedia, baik melalui mekanisme investasi langsung maupun modal ventura. “Namun, jika bisnis hutan regeneratif ingin inklusif, perlu dipikirkan juga bagaimana cara melibatkan bisnis mikro dalam ekosistem ini,” kata Romy.
Sementara itu, Rama Manusama dari Venture Capital menyampaikan penggunaan teknologi seperti AI dan sistem traceability juga diharapkan dapat membantu meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam rantai pasokan. “Kita perlu memanfaatkan teknologi untuk mempercepat skala bisnis regeneratif ini,” tegas Rama.
Peran komunikasi, narasi, dalam menciptakan momentum
Selain isu pasar dan akses, salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menciptakan narasi yang kuat dan menarik bagi publik mengenai produk-produk yang berkelanjutan. Managing Editor Kompas.com Amir Sodikin, menekankan pentingnya narasi yang menghubungkan produk berkelanjutan dengan dampak positif terhadap penghidupan petani dan ekonomi lokal.
Hal ini diperkuat oleh pandangan Communication Advisor & Strategist Initiator Pandemictalks Firdza Radiany, yang menyoroti belum adanya komunikasi kreatif yang terintegrasi dengan aliansi bisnis hutan regeneratif. Firdza menekankan pentingnya narasi kreatif untuk mempromosikan produk-produk berkelanjutan dan membantu meningkatkan kesejahteraan petani serta ekonomi lokal.
“Komunikator dapat menciptakan momentum untuk narasi ini. Penting bagi kita untuk membuat bioekonomi dan hutan regeneratif menjadi bagian dari identitas yang dibanggakan oleh masyarakat,” jelasnya.
Sebagai langkah ke depan, merupakan hal penting untuk terus mengembangkan narasi yang kuat tentang bioekonomi dan hutan regeneratif, serta menutup kesenjangan antara pemasok dan pembeli. Selain itu, dukungan dari pembiayaan dan teknologi diharapkan dapat mempercepat skala bisnis ini.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam bisnis hutan regeneratif dan bioekonomi global. Namun, keberhasilan ini memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, baik pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, maupun masyarakat, sebagai bagian dari identitas bangsa yang bisa dibanggakan. (*)