RFBH, Jakarta – Indonesia, dengan kekayaan alamnya yang melimpah, telah lama dikenal sebagai salah satu titik panas biodiversitas global. Dari hutan tropis yang megah hingga terumbu karang yang memesona, negeri ini menjadi rumah bagi sejumlah besar spesies unik yang tidak ditemukan di tempat lain. Di balik pesona alamnya, terbentang potensi besar untuk mengembangkan bioekonomi, sebuah konsep yang menggabungkan keanekaragaman hayati dengan kegiatan ekonomi berkelanjutan.
Kekayaan Biodiversitas Indonesia
Senior Akademisi Fakultas MIPA Universitas Indonesia Prof. Drs. Jatna Supriatna, Ph.D, dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pengembangan Potensi Ekonomi Keanekaragaman Hayati” yang diselenggarakan Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air (KKSDA) Kementerian PPN/Bappenas di Hotel Artotel Casa Kuningan Jakarta Selatan, Senin (27/05/2024), menyampaikan bahwa Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman hayatinya.
“10% tumbuhan berbunga di dunia, 15% serangga, 25% ikan, 16% amfibi dan reptil, 17% burung serta 12% mamalia yang terdapat di dunia ada di Indonesia. Hal ini menyebabkan Indonesia mendapat julukan megabiodiversity country,” paparnya.
Jatna menambahkan, ada lima perangkat untuk mengukur tingkat biodiversitas, yaitu kekayaan spesies, kelangkaan spesies, kelangsungan populasi, kepadatan biomassa, dan keanekaragaman genetik. Masing-masing perangkat ini membantu dalam memahami nilai dan kontribusi biodiversitas terhadap ekosistem dan ekonomi.
Biodiversitas sebagai Sumber Ekonomi
Dengan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan bioekonomi sebagai pendekatan baru yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Bioekonomi mengintegrasikan ilmu biologi dan teknologi untuk memanfaatkan sumber daya hayati secara inovatif dan efisien, guna meningkatkan kesejahteraan manusia sambil menjaga kelestarian lingkungan.
Konsep bioekonomi menjadi fokus dunia saat ini. The G20 Initiative Bioeconomy diangkat pada perhelatan G20 di Brazil sebagai forum diskusi untuk memecahkan permasalahan lingkungan melalui konsep bioekonomi. Diskusi yang diikuti oleh berbagai negara termasuk Indonesia ini mengangkat tema “Sustainable use of forest and forestries for bioeconomy”. Poin-poin yang dibahas meliputi research, development and innovation for bioeconomy, sustainable use of biodiversity for bioeconomy, dan bioeconomy as an enabler for sustainable development.
Sustainable use of biodiversity for bioeconomy memerlukan konservasi keanekaragaman hayati karena perlu adanya arsip genetik untuk penemuan baru selain perlu mengupayakan konservasi ke dalam bioekonomi melalui praktik berkelanjutan dan pemanfaatan sumber daya hayati secara bertanggung jawab.
Pendekatan bioekonomi bertujuan untuk menciptakan nilai tambah dari sumber daya hayati melalui inovasi dan teknologi. Ini termasuk pengembangan produk-produk farmasi, kosmetik, pangan, dan energi terbarukan yang berasal dari bahan-bahan alami. Selain itu, bioekonomi juga berfokus pada peningkatan efisiensi dalam penggunaan sumber daya alam sehingga dampak negatif terhadap lingkungan dapat diminimalisir.
Salah satu contoh konkret penerapan bioekonomi adalah pemanfaatan keanekaragaman hayati dalam industri farmasi. Banyak spesies tumbuhan dan hewan di Indonesia yang memiliki potensi sebagai bahan dasar obat-obatan. Namun, pemanfaatan ini memerlukan penelitian dan pengembangan yang intensif untuk mengungkap manfaat terapeutik yang dapat dihasilkan. Dengan pendekatan bioekonomi, Indonesia dapat mengembangkan industri farmasi berbasis sumber daya alam yang berkelanjutan, sekaligus melindungi keanekaragaman hayati dari eksploitasi berlebihan.
Dengan potensi bioekonomi yang besar, Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin dalam inovasi dan pembangunan berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam berjalan sejalan dengan pelestarian keanekaragaman hayati. (*)